MAKALAH NAHWU SHARAF BAB HALL
PENDAHULUAN
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak dapat menggali, memahami dan mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis tanpa memiliki kemampuan menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan baik. Dalam upaya mengembangkan wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya sebuah kajian kebahasaan, kemampuan menguasai bahas Arab merupakan kunci dan syarat mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji ajaran islam secara luas dan mendalam.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang digunakan dalam berbahasa Arab untuk mengetahui hukum kalimat dalam bahasa arab. Dalam ilmu nahwu dikenal istilah Haal. Kami pemakalahakan mencoba menjelaskan sedikit tentang ilmu nahwu dalam bab Haal.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Pengertian Haal?
B. Apa sajakah Syarat-syarat Haal?
C. Apa sajakah Macam-macam Haal?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Haal
الْحَالُ وَصْفٌ فَضْلَةٌ مُنْتَصِبُ * مُفْهِمُ فِي حَالِ كَفَرْداً أَذْهَبْ
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan memberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: فَرْداً أَذْهَبُ (aku akan pergi sendiri)”.[1]
Dengan istilah lain:
اَلْحَالُ هُوَ إِسْمٌ مَنْصُوْبٌ يُبَيْنُ هَيْئَةَ اْلفَاعِلِ أَوْ المفْعُوْلِ بِهِ حِيْنَ وُقُوْعِ الْفِعْلِ وَسُمَّي كَلٌّ مِنْهُمَا صَاحِبُ الحَالِ.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
Haal untuk menjelaskan Fa’il.
Contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadرَاكِيْباً berkedudukaan sebagai Haal dari lafazh زَيْدٌ yang menjelaskan keadaan Zaid waktu kedatanganya. Seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt. Berikut: فَخرَجَ مِنْهَا خَائِفًا = “Maka keluarlah Musa dari kota itu”. (Al-Qashash: 21) . Lafad خَائِفًا berkedudukan sebagaiHaal fa’il lafadz خرَجَ yeng menjelaskan keadaan Musa waktu keluarnya.
Haal untuk menjelaskan Maf’ul bih
Contoh: رَكِبْتُ اَلْفَرَسَ مُسَرَّجًا = Aku berkendara dengan berpelana.Lafadz مُسَرَّجًا berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan keadaan kuda waktu digunakan angkutan diatasnya. Dan seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: وَاَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا = “kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.” (An-Nisa: 79). Lafadz رَسُوْلًا menjadi haal dari maf’ul bihhuruf kaf yang terdapat pada lafadz وَاَرْسَلْنَاكَ.
Haal untuk menjelaskan kedua-duanya (fa’il dan Maf’ul bih).
Contoh: لَقِيتُ عَبْدَ اَللَّهِ رَاكِبًا = Aku Bertemu Abdullah dengan berkendaraan. Yang dimaksud dengan berkendaraan itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]
B. Syarat-syarat Haal
Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:
1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haaldengan lafadz ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadznakirah, seperti dalam contoh:وَحْدَهْ اَمَنْتُ بِالله(aku beriman kepada Allah). Kalimah وَحْدَهْ adalah isim ma’rifah secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut: اَمَنْتُ بِالله مُنْفَرِداً.[4]
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَالْحَالُ إِنْ عُرِّفَ لَفْظاً فَاعْتَقِدْ *تَنْكِيْرَهُ مَعْنًى كَوَحْدَكَ اجْتَهِدْ
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,[5] sperti contoh:جَاءَ زَيْدٌ الرَاكِيْبَ
2. Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurnakalamnya, yakni sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal) dengan berlandasan firman Allah Swt.: وَلَا تَمْشِ فِيْ الأَرْضِ مَرَحًا (dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37). [6]
3. Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya (mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkanya yaitu:
a. Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh: فِيْهَا قَائِمًا رَجُلٌ(didalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri). lafadz قَائِمًا berkedudukan sebagai haal dari lafadz رَجُلٌ.
b. Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: فِيْ اَرْبَعَةِ اَيَامٍ سَوَاءً (dalam empat hari yang genap.(Fushsilat: 10). Lafadz سَوَاءًberkedudkan sebagai haal dari lafadz اَرْبَعَةِ.
c. Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
وَمَا اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ اِلَّاَ لَهَا مُنْذِرُوْنَ (dan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara: 208). Lafadz لَهَا مُنْذِرُوْنَadalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari lafadz قَرْيَةٍ, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yangmuystaq atau bukan jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَكَوْنُهُ مُنْتَقِلاً مُشْتَقَّا * يَغْلِبُ لكِنْ لَيْسَ مُسْتَحِقّاً
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah, tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas, bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh:جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadz رَاكِيْباًadalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini dapat lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat muystaq dalam tiga keadaan:
a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: كَرَّ عَلِيٌ أَسَدًا(Ali menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanyaشُجَاعَا كَا الأَسَدِ :
b. Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: بِعْتُكَ اْلفَرَسَ يَدًا بِيَدٍ (aku telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya:مُتَقَابِضَيْنِ
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: دَخَلَ القَوْمُ رَجُلًا رَجُلًا (kaum itu telah masuk secara tertib satu persatu). Takwilanya: مُتَرَتِّبَيْنِ.[9]
7.7. Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm. 267
8. Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Op. Cit, hlm. 433
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89 Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’in
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89
C. Macam-macamnm Haal
Pada asalnya Haal itu adalalah isim nakirah yang berbentuk musytaq. Sedang sedikit sekali berupama’rifah, contoh: أمَنْتُ بِااللهِ وَحْدَهُ (Aku beriman kepada Allah saja), dan Haal itu berupa isim jamid:
1. Jika menunjukkan arti perserupaan, contoh: كَرَّ عَلِيُّ أَسَدًا(Ali menyerang bagaikan singa)
2. Menunjukkan arti mufa’alah (saling), contoh: بِعْتُهُ يَدًا بِيَدٍ(Aku menjual padanya dengan kontan)
3. Menunjukkan tartib (urutan), contoh: اُدْخُلُوا رَجُلًا رَجُلًا(masuklah kamu seorang-seorang)
4. Menunjukkan harga, contoh: بِعْتُ الشَّيئَ رِطْلًا بِدِرْهَمٍ (Aku menjual sesuatu itu per kati satu dirham)
5. Disifati, contoh: إنَّا اَنْزَلْنَاهُ قُرْانًاعَرَبِيًّا (sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an yang berbahasa Arab)
Dan terkadang Haal itu berupa jumlah. Oleh karenanya harus mengandung pengikat (rabith: kata-kata yang menunjukkan adanya hubungan antara hal dan shahibul hal). Dan rabith itu ada yang berupa:
1. Wawu saja, contoh: قَالُوْالَئِنْ اَكَلَهَالذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا اِذًالَخَاسِرُوْنَ (Mereka berkata: Jika sekiranya dia dimakan serigala padahal kami bersaudara tentulah kami akan merugi)
2. Dhamir saja, contoh: اِهْبِطُوابَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوُّ (Turunlah kamu dengan keadaan kamu saling bermusuhan)
3. Wawu dan Dhamir, contoh:وَهُمْ اُلُوفٌ خَرَجُوْامِنْ دِيَارِهِمْ(Mereka telah keluar dari rumah-rumah mereka dalam keadaan beribu-ribu (berbondong-bondong)).
Haal juga bisa berupa zharaf atau jar majrur, contoh:
رَأيْتُ الْهِلَالَ بَيْنَ السَّحَابِ وَأبْصَرْتُ شُعَاعَهُ فِى الْمَاءِ
Telah kulihat bulan sabit itu ada di antara awan-awan dan kulihat cahayanya dalam air
Dan haal itu bisa berbilang (ada beberapa), contoh:
رَجَعَ مُوسَى اِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ اَسِفًا
Musa telah kembali ke kaumnya dengan dongkol (marah) dan kecewa [10].
D. Bentuk Shahibul Haal
Shahibul-haal (pelaku haal) haruslah dalam bentuk ma’rifat, dan pada ghalibnya sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkannya, yaitu:
1. Hendaknya haal mendahului nakirah, contoh: فِيْهَا قَائِمًا رَجُلٌ (di dalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
2. Hendaknya nakirah ditakhsish oleh washf atau oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhsish oleh washf ialah seperti yang terdapat di dalam firman Allah swt:
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul,
Contoh sahibul haal yang ditakhsish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat di dalam firman Allah swt:
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.
3. Hendaknya shahibul haal nakirah terletak sesudah nafi atau syibhun nafi, syibhun nafi adalah istifham dannahi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi ialah firman Allah swt:
Dan kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah istifham (kata tanya) ialah perkataan seorang penyair berikut:
يَا صَاحِ هَلْ حُمَّ عَيْشٌ بَا قِيًا فَتَرَى # لِنَفْسِكَ الْعُذْرَ فِى اِبْعَادِ هَاالْأَمَلَا ؟
Hai temanku, apakah kehidupan dapat menjamin keabadian (bagi seseorang) sehingga kamu melihat adanya alasan bagi dirimu untuk mengharapkan hal yang mustahil ini?.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nahi ialah yang dikemukakan oleh Ibnu Malik:
لَايَبْغِ امْرُؤٌ عَلَى امْرِئٍ مُسْتَسْهِلًا
Janganlah seseorang berbuat kelewat batas terhadap orang lain karena meremehkan haknya[11].
E. Amil Haal
Amil haal adalah kata-kata yang mendahului haal yang berupa fi’il atau yang mengandung arti fi’il, contoh:
وَهَذَا بَعْلِى شَيْخًا اِنَّ هَذَا لَشَيْءٌعَجِيْبٌ
Dan ini suamiku keadaannya telah tua renta. Sungguh ini sesuatu yang aneh[12].
DAFTAR PUSTAKA
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2010
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak dapat menggali, memahami dan mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis tanpa memiliki kemampuan menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan baik. Dalam upaya mengembangkan wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya sebuah kajian kebahasaan, kemampuan menguasai bahas Arab merupakan kunci dan syarat mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji ajaran islam secara luas dan mendalam.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang digunakan dalam berbahasa Arab untuk mengetahui hukum kalimat dalam bahasa arab. Dalam ilmu nahwu dikenal istilah Haal. Kami pemakalahakan mencoba menjelaskan sedikit tentang ilmu nahwu dalam bab Haal.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Pengertian Haal?
B. Apa sajakah Syarat-syarat Haal?
C. Apa sajakah Macam-macam Haal?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Haal
الْحَالُ وَصْفٌ فَضْلَةٌ مُنْتَصِبُ * مُفْهِمُ فِي حَالِ كَفَرْداً أَذْهَبْ
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan memberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: فَرْداً أَذْهَبُ (aku akan pergi sendiri)”.[1]
Dengan istilah lain:
اَلْحَالُ هُوَ إِسْمٌ مَنْصُوْبٌ يُبَيْنُ هَيْئَةَ اْلفَاعِلِ أَوْ المفْعُوْلِ بِهِ حِيْنَ وُقُوْعِ الْفِعْلِ وَسُمَّي كَلٌّ مِنْهُمَا صَاحِبُ الحَالِ.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
Haal untuk menjelaskan Fa’il.
Contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadرَاكِيْباً berkedudukaan sebagai Haal dari lafazh زَيْدٌ yang menjelaskan keadaan Zaid waktu kedatanganya. Seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt. Berikut: فَخرَجَ مِنْهَا خَائِفًا = “Maka keluarlah Musa dari kota itu”. (Al-Qashash: 21) . Lafad خَائِفًا berkedudukan sebagaiHaal fa’il lafadz خرَجَ yeng menjelaskan keadaan Musa waktu keluarnya.
Haal untuk menjelaskan Maf’ul bih
Contoh: رَكِبْتُ اَلْفَرَسَ مُسَرَّجًا = Aku berkendara dengan berpelana.Lafadz مُسَرَّجًا berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan keadaan kuda waktu digunakan angkutan diatasnya. Dan seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: وَاَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا = “kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.” (An-Nisa: 79). Lafadz رَسُوْلًا menjadi haal dari maf’ul bihhuruf kaf yang terdapat pada lafadz وَاَرْسَلْنَاكَ.
Haal untuk menjelaskan kedua-duanya (fa’il dan Maf’ul bih).
Contoh: لَقِيتُ عَبْدَ اَللَّهِ رَاكِبًا = Aku Bertemu Abdullah dengan berkendaraan. Yang dimaksud dengan berkendaraan itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]
B. Syarat-syarat Haal
Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:
1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haaldengan lafadz ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadznakirah, seperti dalam contoh:وَحْدَهْ اَمَنْتُ بِالله(aku beriman kepada Allah). Kalimah وَحْدَهْ adalah isim ma’rifah secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut: اَمَنْتُ بِالله مُنْفَرِداً.[4]
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَالْحَالُ إِنْ عُرِّفَ لَفْظاً فَاعْتَقِدْ *تَنْكِيْرَهُ مَعْنًى كَوَحْدَكَ اجْتَهِدْ
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,[5] sperti contoh:جَاءَ زَيْدٌ الرَاكِيْبَ
2. Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurnakalamnya, yakni sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal) dengan berlandasan firman Allah Swt.: وَلَا تَمْشِ فِيْ الأَرْضِ مَرَحًا (dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37). [6]
3. Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya (mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkanya yaitu:
a. Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh: فِيْهَا قَائِمًا رَجُلٌ(didalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri). lafadz قَائِمًا berkedudukan sebagai haal dari lafadz رَجُلٌ.
b. Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: فِيْ اَرْبَعَةِ اَيَامٍ سَوَاءً (dalam empat hari yang genap.(Fushsilat: 10). Lafadz سَوَاءًberkedudkan sebagai haal dari lafadz اَرْبَعَةِ.
c. Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
وَمَا اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ اِلَّاَ لَهَا مُنْذِرُوْنَ (dan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara: 208). Lafadz لَهَا مُنْذِرُوْنَadalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari lafadz قَرْيَةٍ, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yangmuystaq atau bukan jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَكَوْنُهُ مُنْتَقِلاً مُشْتَقَّا * يَغْلِبُ لكِنْ لَيْسَ مُسْتَحِقّاً
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah, tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas, bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh:جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadz رَاكِيْباًadalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini dapat lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat muystaq dalam tiga keadaan:
a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: كَرَّ عَلِيٌ أَسَدًا(Ali menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanyaشُجَاعَا كَا الأَسَدِ :
b. Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: بِعْتُكَ اْلفَرَسَ يَدًا بِيَدٍ (aku telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya:مُتَقَابِضَيْنِ
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: دَخَلَ القَوْمُ رَجُلًا رَجُلًا (kaum itu telah masuk secara tertib satu persatu). Takwilanya: مُتَرَتِّبَيْنِ.[9]
7.7. Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm. 267
8. Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Op. Cit, hlm. 433
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89 Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’in
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89
C. Macam-macamnm Haal
Pada asalnya Haal itu adalalah isim nakirah yang berbentuk musytaq. Sedang sedikit sekali berupama’rifah, contoh: أمَنْتُ بِااللهِ وَحْدَهُ (Aku beriman kepada Allah saja), dan Haal itu berupa isim jamid:
1. Jika menunjukkan arti perserupaan, contoh: كَرَّ عَلِيُّ أَسَدًا(Ali menyerang bagaikan singa)
2. Menunjukkan arti mufa’alah (saling), contoh: بِعْتُهُ يَدًا بِيَدٍ(Aku menjual padanya dengan kontan)
3. Menunjukkan tartib (urutan), contoh: اُدْخُلُوا رَجُلًا رَجُلًا(masuklah kamu seorang-seorang)
4. Menunjukkan harga, contoh: بِعْتُ الشَّيئَ رِطْلًا بِدِرْهَمٍ (Aku menjual sesuatu itu per kati satu dirham)
5. Disifati, contoh: إنَّا اَنْزَلْنَاهُ قُرْانًاعَرَبِيًّا (sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an yang berbahasa Arab)
Dan terkadang Haal itu berupa jumlah. Oleh karenanya harus mengandung pengikat (rabith: kata-kata yang menunjukkan adanya hubungan antara hal dan shahibul hal). Dan rabith itu ada yang berupa:
1. Wawu saja, contoh: قَالُوْالَئِنْ اَكَلَهَالذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا اِذًالَخَاسِرُوْنَ (Mereka berkata: Jika sekiranya dia dimakan serigala padahal kami bersaudara tentulah kami akan merugi)
2. Dhamir saja, contoh: اِهْبِطُوابَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوُّ (Turunlah kamu dengan keadaan kamu saling bermusuhan)
3. Wawu dan Dhamir, contoh:وَهُمْ اُلُوفٌ خَرَجُوْامِنْ دِيَارِهِمْ(Mereka telah keluar dari rumah-rumah mereka dalam keadaan beribu-ribu (berbondong-bondong)).
Haal juga bisa berupa zharaf atau jar majrur, contoh:
رَأيْتُ الْهِلَالَ بَيْنَ السَّحَابِ وَأبْصَرْتُ شُعَاعَهُ فِى الْمَاءِ
Telah kulihat bulan sabit itu ada di antara awan-awan dan kulihat cahayanya dalam air
Dan haal itu bisa berbilang (ada beberapa), contoh:
رَجَعَ مُوسَى اِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ اَسِفًا
Musa telah kembali ke kaumnya dengan dongkol (marah) dan kecewa [10].
D. Bentuk Shahibul Haal
Shahibul-haal (pelaku haal) haruslah dalam bentuk ma’rifat, dan pada ghalibnya sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkannya, yaitu:
1. Hendaknya haal mendahului nakirah, contoh: فِيْهَا قَائِمًا رَجُلٌ (di dalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
2. Hendaknya nakirah ditakhsish oleh washf atau oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhsish oleh washf ialah seperti yang terdapat di dalam firman Allah swt:
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul,
Contoh sahibul haal yang ditakhsish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat di dalam firman Allah swt:
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.
3. Hendaknya shahibul haal nakirah terletak sesudah nafi atau syibhun nafi, syibhun nafi adalah istifham dannahi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi ialah firman Allah swt:
Dan kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah istifham (kata tanya) ialah perkataan seorang penyair berikut:
يَا صَاحِ هَلْ حُمَّ عَيْشٌ بَا قِيًا فَتَرَى # لِنَفْسِكَ الْعُذْرَ فِى اِبْعَادِ هَاالْأَمَلَا ؟
Hai temanku, apakah kehidupan dapat menjamin keabadian (bagi seseorang) sehingga kamu melihat adanya alasan bagi dirimu untuk mengharapkan hal yang mustahil ini?.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nahi ialah yang dikemukakan oleh Ibnu Malik:
لَايَبْغِ امْرُؤٌ عَلَى امْرِئٍ مُسْتَسْهِلًا
Janganlah seseorang berbuat kelewat batas terhadap orang lain karena meremehkan haknya[11].
E. Amil Haal
Amil haal adalah kata-kata yang mendahului haal yang berupa fi’il atau yang mengandung arti fi’il, contoh:
وَهَذَا بَعْلِى شَيْخًا اِنَّ هَذَا لَشَيْءٌعَجِيْبٌ
Dan ini suamiku keadaannya telah tua renta. Sungguh ini sesuatu yang aneh[12].
DAFTAR PUSTAKA
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2010
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008
Komentar
Posting Komentar