KENALI NU MU, MAKA KAU AKAN MENCINTAI BANGSAMU



“NU yang saya Tahu”

Oleh : Syafi’i al azami 

Berbicara tentang NU ( Nahdlatul Ulama ) maka akan terbesit dalam benak kita siapa pendirinya, kapan berdirinya, dan bagaimana latar bekalangnya, itulah yang terpikirkan oleh seorang anak desa yang bernama Syafi’i al Azami. NU bukan lagi organisasi yang asing dalam dirinya, karena dia terlahir dikalangan kelurga yang kental akan NU, ibunya anggota aktif Fatayat, dan ayahya seorang Banser yang siap mengawal keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kehidupan Azam, sapaan akrabnya. Iapun beribadah dengan cara NU, sholat subuh menggunakan qunut, tahlilan, manaqiban, maulidan, dan amalan lain yang umum di lakukan oleh warga Nahdliyin karena begitulah yang ada dalam lingkungannya. Sehingga alam membentuk  jati dirinya sebagai anak yang kental akan rutinitas NU,  Namun sayangnya, dalam desanya tidak ada wadah untuk anak seusianya yang memperkenalkannya pada NU, dan dengan berjalanya waktu dia pun nyantri di Pondok Pesantren Salafiyyah Al- Mutaqin kedung ampel,Purana,Pemalang, yang mana dalam satu pondok ada 3 pengasuh, yaitu K.H Mukhtaruddin Al-hafidz, yang mana beliau adalah termasuk santri yang bertatapan langsung dan diajarkan langsung oleh Kyai Yusuf Mashar selaku Pengasuh Pertama Pondok Pesantren Madrosatul  Qur’an,Tebuireng ,Jombang. Kyai Yusuf Mashar sendiri adalah menantu dari KH. Hasyim As’ari yang dinikahkan dengan cucunya yaitu Nyai Ruqoyah.  Pegasuh kedua yaitu KH. Faqihuddin Arsyad yang akrab disapa dengan julukan Abah Faqih, dan Pengasuh ketiga adik beliau yaitu KH. Umar Mawardi, dan beliau berdua juga  adalah santri dari Kyai Dimyati Rois atau Mabah Dim Kaliwungu kendal. Dari pondok itulah azam mulai akrab dan mengenal NU, karena di pondoknya benar-benar sering diskusi tentang keNUan dan bahkan ada jam khusus untuk mengkaji kitab I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah dan Qanun Asasi. Karena menurut Kyai Mukhtar, kedua kitab tersebut adalah sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,keagamaan dan politik. Iapun mulai sedikit faham bahwa Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) adalah organisasi terbesar di indonesia yang mana pendirinya adalah Hadrotussyekh Hasyim As’ari sebagai Rais Akbar pada 16 Rajab 1344 H.
Bertepatan dengan 31 januari 1926 M itulah yang sementara ia pahami tentang NU dan Alhamdulillah  pada sesi lain Kyai Mukhtar menceritakan bahwa latar belakang Lahirnya NU tidak terlepas dari dua tokoh besar yaitu, KH Hasyim As’ari dan Abdul Wahab Cahasbullah, dan NU didirikan oleh  para ulama Ahlussunnah wal jama’ah atau para pengasuh pesantren yang di dukung oleh kaum pesantren, karena minimnya fasilitas pada jaman dahulu pendirian ini tanpa ada dokumen tertulis tentang jati dirinya, karena pada dirinya dan pendukungnya sudah memilki kesamaan yang sudah membudaya. Mulai dari wawasan keagamaan, pola pendidikan maupun pengajarannya. Tuturnya.
Beliaupun melanjutkan bahwa tujuan didirikan NU adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran islam yang berhaluan Ahlussunah wal jama’ah. Disamping itu juga untuk mempersatukan ulama dan pengikut-pengikutnya serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat serta martabat manusia. NU menjadi gerakan keagamaan yang bertujuan membangun insan yang bertaqwa pada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak muia, tentram, adil, dan sejahtera. Kemudian, beliau melanjutkan cerita tentang komite hijaz, yang mana pada waktu itu misi yang diemban adalah menemui Raja Saudi (Tanah Hijaz), Ibnu Su’ud (1925) untuk menyamaikan pesan ulama pesantren indonesia. Yang mana pesan para ulama pesantren adalah meminta agar raja tetap memberikan kebebasan berlakunya hukum-hukum ibadah dalam madzhab empat di tanah haram, karena kekhawatiran para ulama terhadap rancan raja yang akan melarang peribadatan menurut madzhab empat di tanah haram. Para utusan itu adalah KH. Asnawi Kudus, Namun, karena ketinggalan kapal, maka di tunjuklah KH. Wahab Chasbullah ( Surabaya ), Syeikh Ghonaim al-misri (warga negara Mesir yang akhirnya di angkat sebagi salah satu Mutasyar Jamiyyah Nahdlatul Ulama), KH. Dahlan Abdul Qohar (pelajar Indonesia yang sedang belajar di mekah), Namun, yang berangkat dari Indonesia hanyalah KH. Wahab Chasbullah. Dan atas karunia Allah SWT, utusan para ulama pesanren dengan nama komite hijaz itu menemui hasil gemilang, raja menjamin kebebasan beramal dalam bermadzhab empat di tanah haram, dan tidak ada penggusauran makam Nabi Muhamad SAW, dan para Sahabatnya, seperti kabar sebelumnya, lihat bagaimana jasa ulama-ulama NU yang sangat luar biasa yang tidak bisa kita bayangkan, bagaimana apabila tidak ada kiprah beliau dalam menemui Raja Hijaz itu, maka kita tidak akan bisa melihat indahnya makam Nabiyullah Muhammad, kita tidak bisa berziarah ke makam Nabiyullah Muhammad dan para sahabat-sahabat lain, dan tidak menutup kemungkinan orang-orang yang membenci Islam akan mengatakan bahwa tidak ada makam nabi maka islaIslamm hanya cerita belaka karena tidak ada buktinya, lihat bagaimana dampak luar biasa dari kiprah ulama-ulama nusantara dalam sejarah Islam. Sepulangnya dari Mekah KH. Wahab Chasbullah bermaksud membubarkan komite itu karena di anggap tugasnya telah selesai. Namun, keinginan itu di cegah oleh KH.Hasyim As’ari, komite itu tetap berjalan, tetapi dengan tugas yang baru yaitu membentuk orgnisai NU. Pembentukan ini didukung oleh isyarat Syaikhona Kholil yang di kirim melalui salah seorang santrinya yaitu KH. As’ad Syamsul Arifin. Dan pada waktu itu Kyai Wahab akan mengumpulkan para ulama di Surabaya, Belanda tidak mengizinkan. Namun, para Ulama tidak kehabisan akal dan cara. Dengan alasan Tahlilan dalam rangka Haul KH. Cholil Bangkalan, para ulama berkumpul di kediaman KH. Ridwan Abdullah di jalan bubutan VI Surabaya. Saat di luar rumah para undangan sedang membaca tahlil, maka didalam rumah para Ulama langsung mengadakan pertemuan yang bertujuan untuk membentuk Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Yang bertepatan pada 31 januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H lahirlah Jamiyyah yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
NU menganut paham Ahlus sunnah wal jama’ah, sebuah pola fikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasioanalis) dengan kaum naqli (skriptualis). Karena itu, sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-qur’an dan sunnah saja, tetapi juga menggunakan kemampuan akal di tambah dengan realitas empirik. Cara berfikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Sedangkan dalam bidang fikih hanya mengikuti satu madzhab yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi atau yang lebih kita kenal dengan Imam Syafi’i. Sementara dalam bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Seiring berjalannya waktu, wawasan demi wawasan mengenai Nahdlatul Ulama semakin bertambah. Seperti, struktur organisasi dari Pengurus ranting (tingkat desa/kelurahan), Pengurus Majlis Wakil Cabang / MCW ( tingkat kecamatan ), Pengurus Cabang ( tingkat kabupaten/kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negri, Pengurus Wilayah ( tingkat propinsi ), dan hingga Pengurus Besar ( tingkat Pusat ). Semua itu ia mulai hafal karena sebuah syair yang mulai diviralkan pada waktu itu oleh Habib Syech Abdul Qodir Assegaf bersama Majlis  sholawat Ahabul Mustofa yang berjudul Syair Nahdliyin (NU) yang berbunyi :

Tahun 26 lahire NU
Ijo-ijo benderane NU
Gambar jagad simbole NU
Bintang songo Lambange NU
**
Suriyah ulamane NU
Tanfidziyah pelaksane NU
GP Ansor pemudane NU
Fatayat pemudi NU
**
Nganggo usoli sholate NU
Manaqiban wasilahe NU
Wiridan rutinane NU
Maulidan sholawatane NU
Sebuah syair yang membuat banyak kalangan dengan mudah mengafal dan memahami NU. Mulai dari tahun lahir, simbol-simbol bendera dan warnanya, kepengurusannya, dan amaliyah-amaliyahnya yang mudah di hafal dan asik dilantunkan. Tak hanya syair itu saja, Azam yang mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan NU pun mulai menghafal syair-syair lain yang menurutnya harus ia hafal, seperti  “Yaa Lal Wathan” Karya Mbah Wahab Hasbullah, sebuah syair yang syarat akan semangat cinta tanah air dan ajakan bela negara, bahkan mentri sosial Republik Indonesia Khofifah Indar Parawansa mengusulkan lagu Yaa Lal Wathan ini jadikan sebagai lagu perjuangan nasional karena terbukti menyemayamkan cinta tanah air dan nasionalisme kuat didada para pejuang terutama anak-anak muda saat ini, tuturnya.
Dibalik rasa bangga dengan hasil karya nyata Mbah Wahab yang mampu membakar semangat perjuangan bangsa indonesia tersebut, maka lagu itu rencananya akan dijadikan sebagai lagu perjuangan nasional yang dilaksanakan pada monumen hari Pahlawan Nasional 10 November 2016 kala itu. Mbah KH.Abdul Wahab Chasbullah adalah seorang ulama yang di lahirkan di Jombang, 3 Maret 1888 dan wafat pada 29 Desember 1971 pada umur 83 tahun, Allahuma Yarham. Kiai wahab adalah sosok yang sangat berjasa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga pada tanggal 7 November 2014 presiden Rebublik Indonesia Ir. Jokowidodo menyematkan penghargaan kepada beliau sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Kiai Wahab adalah seorang ulama yang bepandangan moderm, semangat Kiai Abdul Wahab saat muda sekitar tahun 1914 setelah pulang dari  menuntut ilmu di Mekkah merasa tidak bisa maksimal sseluruhluruh kemampuan berpikir dan bergeraknya saat menjadi salah satu bagian dari Syarikat Islam (SI) dengan tokoh utamanya Haji Oe1mar Said Tjokroaminoto ( 1883-1934 M) merasa tidak puas jjika belum mendirikan organisasi sendiri karena dalam pandanganya Syarikat Islam ( SI ) terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedangkan dirinya menginginkan tumbuhnya nasionalisme di kalangan pemuda melalui kegiatan pendidikan. Dan singkatnya pada tahun 1916, KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan atas bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Bahkan setiap hendak dimula kegiatan belajar, para murid diharuskan menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa arab ciptaan Mbah wahab sendiri. Dan begitulah sejarah lagu Yaa Lal Wathan yang sekarang populer di setiap antero tanah air dan dihafal oleh ribuan umat nusantara terutama kalangan Nahdliyin.
يا للوطن يا للوطن يا للوطن
حب الوطن من الإيمان
ولا تكن من الحرمان
إنهضوا أهل الوطن
يا للوطن يا للوطن يا للوطن
حب الوطن من الإيمان
ولا تكن من الحرمان
إنهضوا أهل الوطن
إندونيسيا بلادي
أنت عنوان الفخاما
كل من يأتيك يوما
طمحا يلقى حماما

Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah, hai bangsaku!
Indonesia negriku
Engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu
Kan binasa dibawah dulimu

Begitulah lirik syair Yaa Lal Wathan yang telah terbukti mewujudkan semangat cinta tanah air dalam setiap sanubari pemuda-pemudi yang melafalkannya.
Semangat untuk memahami dan tumbuh rasa untuk ingin mengabdi dan berjuang di Nahdlatul Ulama semakin memuncak dalam dadanya. Karena pada dasarnya, Azam adalah anak ke-2 dari tiga bersaudara, ia di lahirkan di Desa Penusupan, sebuah desa kecil yang berada di Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, pada Hari Kamis 04 April 1999. Ayahnya bernama Ulinnuha dan Ibunya bernama Syafi’ah. Nasab dari keluarganya itulah yang membuat semangat Azam selalu berkobar untuk terus belajar dan memahami ilmu apa saja termasuk Nahdlotul Ulama. Karena kakeknya adalah Kyai tersohor di desanya yang berasal dari Sidokampir, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada masanya yang bernama Kyai Syafi’i.  Dikenal dari cerita-cerita yang beredar, Kyai syafi’i adalah sosok yang sangat keras terhadap yang mungkar dan mempunyai banyak hikmah, kegemaranya adalah berziarah ke makam-makam waliyullah dan bersilaturrahmi ke berbagai kyai di nusantara. Begitulah  kesaksian dari warga-warga desa setempat yang menjadi santrinya yang di ajak berziarah dan berkunjung ke beberapa kota, bahkan Kyai Mukhsin, yang dulu menjadi santrinya bercerita bahwa dia pernah diajak berziarah ke makam Mbah Kholil Madura tetapi yang anehnya ditempat lain beliau kyai Syafi’ipun mengajak santrinya yang lain berziarah ke makam Sunan Gunung Jati di Cirebon dengan hari yang sama. Selain itu,  Kyai Syafi’i adalah sosok yang sangat pemurah. Diceritakan langsung kepada saya oleh istrinya, yang notabennya sebagai Nenek saya, Nyai Mutmainnah. Bahwa suatu ketika ada pengemis meminta-minta datang ke rumahnya, dan Mbah Kyai Syafi’i menyuruh mengambil dan memberikan seluruh beras yang tersisa di tungku, sedangkan Nyai Mutmainnah sudah memasak air guna utuk memasak beras yang tersisa itu. Nyai Mutmainnah dengan sifat keibuannya dan sebagai ibu rumah tangga awalnya menolak karena anak-anaknya belum makan begitu juga dirinya. Tetapi dengan desakan sang suami maka ia mengurungkan niatnya untuk memasak dan memberikan seluruh beras yang tersisa dengan tetesan air mata kepada sang pengemis. Setelah itu, Nyai Mutmainnah kembali ke dapur dengan niat mematikan pawon ( kompor pada jaman itu yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakarnya ) karena beranggapan sudah tidak ada lagi yang akan di masak. Mahasuci Allah, tak sempat ia mematikannya datang seorang tamu dengan membawa 1 karung beras yang ia tidak mengenalinya. Kyai Syafi’i terkenal keras kepada anak-anaknya, ia memiliki 6 orang anak, yang pertama, Syafi’ah (ibu saya), ke dua Imam Bukhori, Muhammad ilyas, dan si Kembar Maryam dan Maryamah, terakhir Sofiatun. Qodarullah dari ke 6 anak itu, yang ada hingga saat ini hanya yang pertama dan terakhir, yaitu ibu saya dan bulik saya yang bernama Sofiatun. Sayangnya saya tidak pernah berjumpa dengan beliau, begitu juga Abah (panggilan saya kepada orang tua laki-laki), karena beliau wafat sebelum Umi dan Abah menikah, tetapi namanya tetap hidup dan itulah yang membuat saya bisa mengenalnya. Semoga Allah memberi tempat terbaik kepadanya, melapangkan kuburannya dan kami bisa meneruskan perjuanganya dan membuat bangga kepadanya.
Semakin bertambahnya hari, semakin bertambah pula kedewasaan dan pemahamannya terhadap NU, dan ditunjang dengan banyaknya kegiatan-kegiatan yang di diikutinya di NU seperti rutinan IPNU yang tak sengaja ia ikuti didesa tempat ia nyantri, awalnya sebagai seorang santri, dihari Jum’at yang mana pada hari itu adalah hari libur. Ia bermain ke rumah temennya yang “nyantri kalong”, itu adalah sebutan untuk santri yang tidak menetap di pondok, karena biasanya ia berasal dari desa itu dan bolak-balik dari rumahnya ke pondok saat waktu pelajaran saja. Dan sewaktu kebetulan dirumahnya ada  selapan (pengajian rutin) pembacaan maulid barzanji dan latihan hadroh, dari situlah awalnya ia mengenal IPNU. Lalu, ia pun melihat buku yang berjudul “BUKU SAKU IPNU IPPNU” ia pun mulai membuka-bukanya dan membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat yang bertuliskan;
Ahlussunnah wal jama’ah ( ASWAJA ), Ahlun yang berarti keluarga, golongan , Sunnah berarti segala yang bersumber dari Nabi Muammad SAW ( perkataan, perbuatan, kesepakatan), Aljamaah ( kelompok, holongan, mayoritas). Secara istilah, aswaja adalah golongan yang mengikuti sunnah nabi dan ijma’ atau kesepakatan para sahabat, tabi’in dan ulama. Secara substansi faham aswaja sebenarnya adalah “rasa” dari Islam itu sendiri sesuai Islam dan hadist, jadi bukan sebuah organisasi. Namun, semenjak wafat Nabi sebagai konsekuensi perkembangan zaman dan kondisi daerah yang berada dan tentunya “hilangnya” Nabi selaku orang yang bisa menjawab semua persoalan terkait hukum Islam, di kalangan umat Islam mulai muncul perbedaan-perbedaan terkait bagaimana hukum dari persoalan-persoalan yang pada masa nabi belum pernah ada atau terjadi. Hal ini yang kemudian akhirnya menimbulkan banyak perbedaan, perdebatan, bahkan perpecahan di kalangan umat Islam itu sendiri. Dimulai dari masa khalifah Usman bin Affan ( tahun 25-35 H ) munculah gerakan atau faham syiah, di prakarsai oleh Abdullah bin Saba yang berlebihan dalam memuja sahabat Ali Karamallahu Wajhah dan ahli baitnya, serta membenci khalifah-khalifah sebalum sahabat Ali Karamallahu Wajhah ( tahun 35-40 H ). Kemudian selain kaum Syi’ah, ,muncul juga paham Khawarij yang dikomandani oleh Abdullah bin Wahab Arrasyidi yang kecewa dengan sahabat Ali Karamallahu Wajhah, karena menerima tahkim ( perjanjian ), dan menganggap kafir sahabat Muawiyah Ibnu Sofyan karena memenangkan tafkhim dengan cara licik. Dan seterusnya perpecahan umat islam terus terjadi hingga pada akhir abad III Hijriyyah muncul gerakan untuk mengembalikan islam ke faham sesuai ajaran Nabi SAW dan para Sahabat, tabi’in dan ulama-ulama terdahulu ( Aswaja ) yang di gagas oleh dua orang ulama besar dalam ushuludin, yaitu Syaikh Abu Mansur Al Maturidi ( tahun 333 H )
Dalam sejarah pada masa itu terjadilah peristiwa yang dinamakan “Fitnah Quran Makhluk” yang mengobarkan beribu-ribu ulama yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah. Pada awalnya syeikh Abu Hasan Asy’ari adalah seorang Mu’tazilah yang berguru pada Muhammad bin Abdul Wahab Aljabai, namun beliau melihat banyak kesalahan besar, banyak yang bertentangan dengan i’tiqad dan kepercayaan Nabi SAW, sahabat-sahabat, serta Al Qur’an dan Hadits sehingga akhirnya beliau menyatakan keluar dari paham Mu’tazilah.
Tuhan itu ada, namanya Allah dan 99 nama Allah ( Asmaul Husna ), Tuhan mempunyai sifat wajib 20, sifat mustahil 20, dan 1 sifat jaiz ( fi’lu kulli mumkinin autarkuhu. Wajib percaya bahwa malaikat itu ada, dan yang wajib di imani ada 10. Wajib percaya pada kiab-kitab Allah, wajib percaya adanya Nabi dan Rasul, terutama 25 Rasul, percaya adanya Hari kiamat, percaya adanya Qadha dan Qodhar, pahala sadaqah, wakaf, pahala bacaan tahlil, pahala sholawat, bacaan-bacaan qur’an boleh di hadiahkan kepada orang yang telah mati dan sampai kepada mereka, melakukan ziarah kubur termasuk ibadah dan sunnah hukumnya, berdoa dengan wasilah atau tawashul sunnah hukumnya,
Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad Salallahu alaihi wasallam.
Percaya adanya syafa’at, keramat, karamah, dan mukjizat
Dalam soal pertikaian dan peperangan yang terjadi antara para sahabat Nabi, kaum Aswaja menanggapi secara positif dan menganggap sebagai bentuk ijtihad, dimana jika ijtihadnya benar maka mendapat 2 pahala, dan jika ijtihadnya salah maka akan mendapat satu pahala.
Dan yang menarik lagi, ia menemukan hal baru yaitu Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian bahwa isalam adalah agama yang fitri, yang bersifat meyempurnakan segala kebaikan yang sudah di miliki manusia yang mana di jelaskan dalam Al Qur’an Surat Ar- Rum Ayat 30 yang artiya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama islam sesuai fitrah Allah disebabkan ia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Alla, (itulah)agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Fitrah adalah suatu perangkat yang berikan oleh Allah yaitu kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkarya yang di sebut dengan potensialitas dan manusia di ciptakan Allah SWT dalam struktur yang paling tinggi, yaitu memiliki struktur jasmaniyah dan rohaniyyah yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain, Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya, bahwa ;
“Tidak ada orang yang di lahirkan di dunia kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tualah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau majusi. Sebagaimana binatang ternak yang melahirkan anak-anaknya, apakah engkau membersihkan unta yang termasuk binatang ternak?, kemudian Abu Hurairah RA mengatakan; bacalah jika kalian semua menghendakinya,  (tetaplah atas) fitrah Allah SWT yang menciptakan manusia menurut firah itu.
Oleh karena itu, dengan dasar-dasar itu pula warga masyarakat Nahdlatul Ulama mempunyai ciri dalam bidang keagamaan yaitu sikap Tawassuth dan i’tidal, sikap tengah yang berintikan kepada kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah kegidupa bersama. Nahdlatul Ulama dengan sifat dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim). Kemudian, sikap tasamuh adalah sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang besifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Selanjutnya, sikap tawazun adalah sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyertakan hikmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumusakan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Semua sikap itulah yang membentuk dan membuat karakter warga masyarakat Nahdlatul Ulama agar lebih bermartabat, ta’at dan tidak gampang mengkafir-kafirkan. Selain itu juga membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organsasi yaitu ;
Menjungjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran islam
Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
Menjunjung tinggi sifat keihklasan dan berkhidmah serta berjuang
Menjunjung tinggi persaudaraan ( Al-Ukhwah ), persatuan ( Al- Ittihad ) serta kasih mengasihi
Meluhurkan moral ( Ahlakul Karimah ) dan menjunjung tinggi kejujuran ( as-siqdu ) dalam berfikir, bersikap dan bertindak
Memiliki kesetiaan atau royalitas kepada bangsa dan negara
Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi bagian dari ibadah kepada Allah SWT
Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya
Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia
Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakatnya
Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
Sejalan dengan itu, Azam mulai memahami bagaimana layaknya sebagai warga Nahdlatul Ulama dalam bertindak, bersikap, dan berfikir sesuai dengan kepemahamannya.
Amaliyah – amaliyah NU mulai benar-benar azam terapkan dalam kehidupan sehari-harinya, bukan lagi hanya menjalankannya karena keumuman di lingkungannya, tetapi dengan dasar dan pengetahuan yang semakin hari semakin ia fahami. Seperti maulidan yang menurut kalangan-kalangan liberalis adalah bid’ah, tetapi ia menyangkal bahwa acara maulidan adalah suatu bentuk wujud kecintaan dan rasa bangga kita atas kelahiran manusia yang mulia yaitu baginda Nabi Muhammad SAW. Merujuk kepada Sayyid al-Bakri, pelopor pertama kegiatan maulid adalah al-Mudzhaffar Abu Sa’id, seorang raja di daerah Ibril, Baghdad. Peringatan maulid pada saat itu dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan berkumpul disuatu tempat. Mereka bersama-sama membaca ayat Al-Qur’an, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullah, melantunkan sholawat, dan syair-syair kepada Rasulullah serta diisi pula dengan ceramah agama. [ Al-Bakri bin Muhammad Syatho,  Ianah attalibin jus 2 hal. 364]. Peringatan maulid nabi seperti gambaran di atas memang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah maupun sahabat. Karena alasan inilah sebagian kaum msuslimin tidak mau merayakan maulid nabi, bahkan mengklaim bid’ah perayaan maulid nabi. Menurut kelompok ini, seandainya perayaan maulid memang termasuk amal shaleh yang dianjurkan agama, maka mestinya generasi salaf lebih peka, mengerti dan juga menyelenggarakannya. [Ibn Taymiyyah, Fatawa Kubra, jus IV, hal 414 ]. Tetapi perlu diketahui, bahwa tidak semua yang bid’ah itu di larang , sebagaimana HR Ahmad No 17184, yang artinya. “ Berhati-hatilah kalian dari sesuatu yang baru, karena setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Pemahaman Hadist itu bisa salah kaprah apabila hanya di lihat dari teksnya saja tanpa menelisik lebih jauh bagaimana asbabul wurudnya, dan tidak dikaitkan dengan hadist lain, yaitu ; “ Siapa saja yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka dia di tolak. HR. Al-Bukhari No 2697. Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah urusan agama, bukan urusan duniawi, karena kreasi dalam masalah dunia diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Sedangkan kreasi apapun dalam masalah agama adalah tidak diperbolehakan. [Yusuf al-Qardhawi, Bid’ah dalam Agama, hal 177]. Dengan demikian maka dapat di tarik kesimpulan “Bahwa siapa yang berkreasi dengan memasukan sesuatu yang sesunguhnya bukan agama, lalu diagamakan, maka sesuatu itu merupakan hal yang di tolak”. Dan perlu kita fahami bahwa bid’ah yang dhalalah (sesat) dan yang Mardudah (tertolak) adalah Bid’ah Diniyah (Agama). Namun, kebanyakan kaum liberalis dan kalangan-kalangan lain yang penalarannya salah kaprah adalah mereka tidak bisa membedakan mana amaliyah keagamaan dan mana instrumen keagamaan, seperti halnya orang yang tidak bisa memahami mana visi dan mana misi, mana saran dan mana tujuan. Akibatnya adalah dengan gampangnya mengatakan perayaan maulid sesat, membaca Al-Qur’an bersama-sama adalah sesat, dan seterusnya. Padahal hakikatnya, perayaan maulid merupakan misi dan visinya adalah bershalawat, membaca sejarah Rasul, melantunkan al-Qur’an bersama-sama, berdo’a bersama, dan amaliyah-amaliyah lainya yang bisa di sebut dengan “instrumen agama, sejatinya adalah sebagai wadah atau sarana agar individu lebih bisa sering bershalawat, membaca Al-Qur’an, berdo’a, dan mengenali kisah nabiyullah Muhammad SAW. Kembali ke perayaan  maulid, Berkenaan dengan hukum perayaan maulid,imam As-Suyuthi dalam al-Hawi llil Fatawi menyebutkan redaksi sebagai berikut:


أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.


“Hukum Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan yang tsabit (Shahih)”.

Begitu juga Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, mengatakan:


وَالْحَاصِلُ اَنّ الْاِجْتِمَاعَ لِاَجْلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ اَمْرٌ عَادِيٌّ وَلَكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ الْخَيْرَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تَشْتَمِلُ عَلَي مَنَافِعَ كَثِيْرَةٍ وَفَوَائِدَ تَعُوْدُ عَلَي النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لِاَنَّهَا مَطْلُوْبَةٌ شَرْعًا بِاَفْرِادِهَا.

 “Bahwa sesungguhnya mengadakan Maulid Nabi SAW merupakan suatu tradisi dari tradisi-tradisi yang baik, yang mengandung banyak manfaat dan faidah yang kembali kepada manusia, sebab adanya karunia yang besar. Oleh karena itu dianjurkan dalam syara’ dengan serangkaian pelaksanaannya.” [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu An-Tushahha, hal. 340]


keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa perayaan maulid Nabi SAW hanya formatnya yang baru, sedangkan isinya merupakan ibadah-ibadah yang telah diatur dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena itu, banyak ulama yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid`ah hasanah dan pelakunya mendapatkan pahala.
Selain itu, menurut sebagian Ulama, di antara dalil-dalil perayaan maulid Nabi SAW adalah firman Allah SWT:


قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya: “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58)

Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah. Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menafsiri الفضل dan الرحمة. Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda.

Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad SAW. Pendapat yang masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi SAW ialah karena adanya isyarat firman Allah SWT yaitu,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya: “Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Ambiya’:107).”[Abil Fadhol Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, Juz 11, hal. 186]

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 di atas. [Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah,hal6-7]

Dalam kitab Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani diceritakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa tiap hari senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah. Ini membuktikan bahwa bergembira dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan orang kafirpun dapat merasakannya. [Ibnu hajar, Fathul Bari, Juz 11, hal 431]


Riwayat senada juga ditulis dalam beberapa kitab hadits di antaranya Shohih Bukhori, Sunan Baihaqi al-Kubra dan Syi`bul Iman. [Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 7, hal 9, Sunan Baihaqi al-Kubra, Juz 7, hal 9, Syi`bul Iman, Juz 1, hal 443].

Malam itu langit begitu biru tua, bintang gemintang memamerkan kerlipnya. Udara sejuk mengalir dari setiap jedela yang ada. Ratusan santri yang ada di Pesantren Al-Muttaqin bekumpul dan tumpah ruah di satu ruangan yang terdapat penghalang antara santriwan dan santriwati, setelah mengaji kitab Riyadlus Salihin yang dikaji langsung oleh Kyai Mukhtar selaku Pimpinan utama Pondok itu setiap malam Rabu, tak seperti biasanya, pada malam itu Kepala Desa beserta jajarannya, disusul dengan para tokoh masyarakat yang memiliki nama di desa itu, mereka bergantian mencium tangan Abah Yai dan langsung duduk tepat di belakangnya. Yang mengherankan banyak berdatangan pula wajah-wajah asing yang tak pernah kita lihat sebelumnya dengan memakai setelan jas hijau betuliskan PKB dibelakangnya. Setelah semuanya duduk dengan rapi,  kemudian Pak kyai mempersilahkan salah satu diantara mereka untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya.Setelah memperkenalkan diri, ia menjelaskan bahwa maksud dan tujuannya datang ke Pesantren kami adalah ingin bersilaturahmi ditambah menjelaskan manfaaat dan dalil-dalil tentang silaturami. Selanjutnya ia menjelaskan tentang NU dan Politik, ia mengatakan pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin, NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor. NUNU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk kembali ke Khittah 1926’ yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi. Dan ia melanjutkan bahwa Khittah  NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:
Meningkatkan hubungan antar ulama dari berbagai mazhab sunni
Meneliti kitab-kitab pesantren untuk menentukan kesesuaian dengan ajaranahlusunnah wal-jama’ah.
Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaiannya dengan ajaranahlusunnah wal-jama’ah
Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat mazhab
Mendirikan Madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah, dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin
Dan membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan, dan industri yang halal menurut hukum Islam.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ). Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR. Pada tahun 2009, memperoleh 27 kursi dan pada tahun 2014 memperoleh 47 kursi. Ia menjelaskan dengan nada penuh semangat, Ia mengatakan kaum Pesantren adalah kaum yang memang seharusnya ada di depan memimpin negara ini, karena tanpa ada perjuangan dari para kyai-kyai dan santri maka tidak akan ada kemerdekaan di negara ini. ujarnya, setelah itu ia mendeklarasikan bahwa PKB sudah memutuskan dan meminta kesediaan  Kyai Mukhtaruddin Al Hafidz sebagai calon anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kab. Pemalang yang akan maju pada Pilkada nanti. Sontak semua yang hadir di situ memberi tepuk tangan dan suasananya begitu ramai. Dari situlah para santri mulai paham bahwa malam itu adalah malam deklarasi bagi sang kyai.
Keesokan harinya, pesantrennya mulai ramai dikunjungi orang-orang luar yang notabennya adalah sebagai orang-orang Politik. Di sekitaran Desa Kedungampel, mulai banyak terpampang wajah Sang kyai dibaliho-baliho dengan Nomor urut 01 dengan backround lambang Nahdlatul Ulama. Yang mana arti dari lambang Nahdlatul Ulama yang pernah Azam ketahui saat kajian ke-NUan kala itu. Kyainya menjelaskan dalam pandangan Kyai Ridwan, lambang NU terdiri dari bumi dikelilingi tampar yang mengikat, untaian tampar berjumlah 99, lima bintang di atas bumi (yang tengah berukurn paling besar) dan empat bintang di bawah bumi. Terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah bumi dan d bawah bumi ada tulisan NU dalam huruf  latin. Maknanya adalah ;
Bumi ( bola dunia ) adalah tempat manusia berasal, menjalani hidup dan akan kembali. Sesuai dengan surat Thaha ayat 55.
Tampar yang melingkar dalam posisi mengikat adalah tal ukhuwah ( persaudaraan ) yang kokoh. Hal ini berdasarkan ayat 103 surat Ali Imran.
Peta Indonesia, adalah melambangkan bahwa NU didirikan di indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara Republik Indonesia.
Dua simpul ikatan di bagan bawah melambangkan hubungan vertikal kepada Allah (hablumminallah ) dan hubungan Horizontal dengan sesama manusia (hablumminanas).
Untaian tampar berjumlah 99 melambangkan 99 nama terpuji bagi Allah (Asmaul Husna).
Empat bintang melintang di atas bumi bermakna Khulafaur Rasyidin yang terdiri dari Abu Bakar as-Shiddiq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thallib KW.
Satu bintang besar terletak di tengah melambangkan Rasulullah SAW.
Empat bintang di bawah bumi melambangkan empat imam madzhab Ahlussunah wal jamaah yang terdiri dari Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i.
Jumlah bintang seluruhnya sembilan,bermakna Walisongo  (Sembilan orag wali) penyebar agama islam di tanah jawa.
Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah adalah nama organisasi Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama.
Tulisan warna putih bermakna kesucian.
Hujan baru saja reda. Genting genting masih basah. Ujung ujung dedaunan sesekali masih meneteskan air sisa hujan. Air menggenang di beberapa bagian halaman pesantren. Angin dingin mendesau mengibarkan jilbab para santriwati yang sedang berjalan menuju tempat makan pagi. Sementara ditempat lain, para pengurus pesantren yang telah ditunjuk sebagai Saksi di TPS (Tempat Pemungutan Suara) telah bersiap di posnya masin-masing. Senin 14 April 2014, Panitia Pemungutan Suara (PPS) mengumumkan bahwa KH. Mukhtaruddin dapil 6 dari Partai Kebangkitan Bangsa berhasil menduduki peringkat pertama dengan perolehan  2.807 suara masa khidmat 2014-2019. Para santri bangga bercampur sedih karena meraka tau bahwa kyainya sekarang mempunyai dua amanat, yaitu sebagai pengasuh santri di pesantren dan pengasuh masyarakat di kursi DPRD.
Hari demi hari terus berlalu. Perjalanan Azam dipondok itupun tak terasa sudah berjalan lebih dari 3 tahun, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutakan studynya di tempat lain. Setelah berbicara dengan pak kyai ditemani dengan kedua orangtuanya, Pak Kyai Mukhtarpun menyarankan agar melanjutkan di Ponpes Hamalatul Qur’an  Jombang. Beliau mengatakan bahwa disana pengasuhnya adalah adik kelasnya  waktu beliau nyantri di Madrosatul Qur’an dulu, walaupun adik kelasnya tetapi keilmuanya tidak perlu di ragukan, apalagi disana takhsus Qur’an. Cocoklah buat meneruskan hafalanmu le. “Ujarnya dengan di akhiri senyuman”. Hari itu adalah hari yang menyedihkan baginya karena ia harus meninggalkan semua teman-teman dan semua kenangan yang ia ukir didalamnya. Tetapi, ia masih ingat perkataan yang disampaikan oleh salah satu temannya bahwa “tidak ada kata perpisahan, yang ada hanya jarak dan tempat yang memisahkan, kau akan tetap di sini (hati), karena namamu sudah terpatri”. Iapun pulang ke rumah selama 3 hari dan selanjutnya ke Jombang di temani telepon genggam yang nanti memang di stasiun sudah ada yang menanti.
Lingkungan baru, teman baru, dan semua hal yang memang serba baru ia rasakan dan membuatnya sempat gelisah dan tidak betah. Tetapi dengan tekad yang tertanam dan demi cita-cita yang ia impikan, ia tetap memaksakan walau terkadang ia memang menitikan air mata dipojokan.
Imam Syafi’i mengatakan ; “ Hidupnya seorang Pemuda, demi Allah, hanya dengan ilmu dan taqwa, dan apabila tidak ada keduanya, maka tidak ada gunanya”.
Maqolah itulah yang selalu ia ingat dan di jadikan Motto Hidupnya. Singkat cerita, 23 Agustus 2016 adalah hari yang selalu ia impikan, hari yang selalu ia perjuangkan, dan hari yang bisa membuat kedua orangtuanya menangis haru karena perjuangan anaknya di Wisuda Hafidz Qur’an.  Wisudawan yang di ikuti oleh 132 santri qira’ah masyhurah, 1 santri qira’ah sab’ah dan 21 syahadah ini, Kyai Ainul Yaqin atau akrab di sapa dengan Mbah aqin ini, mengatakan dalam sambutannya;
“Disni PPHQ berusaha menjawab problematika aktual dalam misi kebangsaan dan kenegaraan yang mayoritas warganya muslim kita harus sadari, power penting bangsa berada pada kita yang diberi anugerah Al-Qur’an yang substansial yang nantinya diharapkan akan menciptakan karakter nasional yang Qur’ani.” Papar beliau.
Acara yang begitu khidmat,syahdu dan membuat banyak orang menangis haru itu, ditutup dengan do’a oleh DR. (H.C.) I.r. H. Salahuddin Wahid yang mana beliau adalah putra dari K.H. Wahid Hasyim dan adik kandung dari mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ), dan cucu dari  pendiri Nahdlatul Ulama K.H. Hasyim Asy’ari. Selesai acara, banyak wisudawan yang hari itu juga boyong dari Pondok , ada juga yang tetap tinggal di Pondok untuk beberapa saat dan melanjutkan tujuan selanjutnya. Karena masing-masing dari mereka sudah ada yang ingin melanjutkan kuliah, ada yang ingin pindah ke pondok lain, dan ada yang meikah, tetapi  Azam adalah sekian dari santri yang tetap tinggal tetapi tidak punya tujuan selanjutnya. Hingga sapai 3 bulan lebih disana, Pak Kyai memanggilnya dan menawarkan beberapa universitas, mulai dari UIN Malang, UNHASY Jombang, dan PTIQ Jakarta. Maka akhirnya setelah memberitahukan kepada kedua orangtuanya, dan menyarankan agar ke PTIQ Jakarta saja.
Sebagai Mahasiswa yang haus akan ilmu dan haus akan diskusi, ia memilih masuk sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang mana PMII lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama’ah. Dan beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
Pisahnya NU dari Masyumi.
Ketika PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno, Bung Karno meminta kepada NU untuk mendirikan oganisasi mahasiswa Islam yang 'Indonesia' maka berdirilah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Hal-hal tersebut di atas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dengan berasaskan Pancasila. Tujuan PMII sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar (AD PMII) BAB IV pasal 4 "Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia".

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya. Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan atau paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjutnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1972 melalui Mubes ke-III di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian, pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII. Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari paham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain. Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakikat keduanya susah untuk direnggangkan. Motto PMII adalah “ Dzikir, Fikir dan Amal Sholeh”. Diharapkan PMII mampu menjadi wadah bagi Mahasiswa untuk melakuka tindakan yang mampu membangun atau sifatnya konstruktif terhadap Negara kesauan Republik Indonesia ini. dan alhadulillah, sekarang Azam selain aktif sebagai kader PMII ia juga aktif diorganisasi lain seperti Jamiyyah Hafadzah Al-Qur’an, yaitu wadah bagi para penghafal al-Qur’an di Jakarta, serta menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) di Kampusnya. SEKIAN
SALAM PERGERAKAN!!!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH NAHWU SHARAF BAB HALL

MAKALAH ILMU MANTIQ TENTANG TA'RIF

MAKALAH ILMU BALAGHAH RUKUN TASYBIH